Judul :ALL THE PRESIDENT’S MEN
Sutradara : Alan J. Pakula
Pemeran :
-Robert Redford
-Dustin Hoffman
-Jason Robards
Rilis : 1976
Genre : Drama, history, mystery
Durasi : 138 Menit
film ini diangkat
dari adaptasi novel yang ditulis sendiri oleh Bob Woodward dan Carl
Bernstein selaku pelaku sejarah
RESENSI FILM
Film ini bermula dari kasus
spionase, pencurian, dan penyadapan di salah satu markas milik Partai Nasional
Demokrat, Watergate. Kemudian dua orang jurnalis The Washington Post mencoba
untuk menguak kasus yang mereka anggap penuh konspirasi. Dua jurnalis tersebut
yakni Bob Woodwart dan Carl Bernstein.
Kejanggalan kasus Watergate
berawal dari persidangan lima orang terdakwa. Woodwart, yang kala itu hadir
dalam persidangan mendengar bahwa salah satu terdakwa yang bernama James Mc.
Cord adalah pensiunan konsultan keamanan CIA.
Kasus kian ditelusuri. Data yang
dikumpulkan Woodwart menunjukan ada keterlibatan pemerintahan Richard Nixon,
termasuk Penasehat Khusus Presiden dan beberapa pejabat penting lainnya.
Setelah data dihimpun, ada dinamika dalam ruang redaksi nyatanya. Woodwart
barulah Sembilan bulan menjadi jurnalis di surat kabar kenamaan Amerika
tersebut. Hal itu membuat petinggi The Washington Post tak main gampang
memberikan tugas itu kepada Woodwart. Pengalamannya masih dianggap dangkal.
Setelah beberapa pimpinan bersitegang, barulah Woodwart diamanahkan untuk
menelusuri kasus tersebut. Tak tak cukup satu, redaktur Washington Post juga
menunjuk Carl Bernstein dalam peliputan skandal Watergate.
Lalu, apa hubungannya kasus
Watergate dengan pemerintahan Richard Nixon yang merupakan presiden Amerika
kala itu? Woodwart mensinyalir, adanya
campur tangan Gedung Putih dalam menyiasati pencurian dan juga penyadapan di
markas Partai Nasional Demokrat. Lantas saja petinggi gedung putih tersandung
kasus. Selidik punya selidik, orang-orang Nixon mencoba menyabotase kampanye
politik pesaingnya dari Partai Nasional Demokrat. Saat itu adalah tahun politik
Amerika, Nixon kembali menjadi kandidat calon presiden dan akhirnya menang.
Orang-orang diwawancara, data
tertulis pun kian dihimpun, saatnya Woodwart dan Bernstein menunjukkan hasil
liputannya. Mereka berdua amat yakin dengan hasilnya, juga menduga berita ini
akan sangat eksklusif. Bahkan mereka kira, surat kabar nomer wahid Amerika
yakni The New York Times tak memiliki informasi khusus terkait skadal
Watergate. Namun, apalah yang mereka terima? Pimpinan Washington Post mengira
tak ada yang istimewa dalam hasil peliputan. Data-data yang dihimpun rupanya
masih dangkal. Isinya kering dan hanya menyangkut kulit luar dari kasus itu.
Berita tentang Watergate belum jadi diterbitkan. Woodwart kecewa, pun dengan
Bernstein. Walhasil, mereka mesti putar otak lebih keras.
Tidak jadi terbit, Woodwart dan
Bernstein tak hentikan langkah. Tibalah saatnya Woodwart memanfaatkan jaringan
yang ia miliki. Tentu untuk mengorek banyak informasi. Ia menghubungi
kenalannya di Gedung Putih. Pertemuan rahasia dengan orang dalam pemerintahan
ia agendakan. Orang ini akan jadi informan dalam kasus yang Woodwart dan
Berstein telusuri.
Tibalah saat pertemuan rahasia,
orang misterius itu dinamai Deep Throat. Woodwart menginginkan Deep Throat
mengungkap semua yang diketahuinya tentang skandal Watergate. Namun Deep Throat
tidak secara gamblang membeberkan semua hal, hanya kata kuncinya saja. Woodwart
nampak bingung. Mesti darimana ia memulai? Akhirnya Deep Throat ingin agar
Woodwart dan Berstein menelusuri uang berjumlah $25.000 yang ada di rekening
salah satu tersangka pencurian. Kenapa harus uang itu? Karena dana tersebut
mengalir dari Komite Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke rekening
pelaku pencurian Watergate.
Pemberitaan tentang skandal
Watergate tersiarkan. Gedung Putih gempar. Aksi dari dua wartawan ini menyeret
beberapa nama penting di pemerintahan. Mulailah terkuak konspirasi pejabat
tinggi Gedung Putih dalam kasus Watergate. Dalam proses peliputan, Woodwart dan
Bernstein jadi sosok berbahaya. Hal demikian membuat agen khusus negara tak
tinggal diam. Mereka berdua kerap dibuntuti mata-mata, gerak-gerik mereka
diawasi. Bahkan, komunikasi yang dilakukan dua wartawan ini bisa jadi disadap.
Deep Throat lah yang memberitahukan hal itu kepada Woodwart dan Berstein.
Usaha dua wartawan ini bukan
tidak menghadapi batu sandungan. Banyak orang yang enggan mengungkap kebenaran
saat diwawancara. Agen khusus negara mencoba menekan beberapa orang yang
terlibat supaya mengunci rapat mulutnya. Woodwart dan Berstein mesti susah
payah mencari narasumber yang sukarela menjadi kunci terkuaknya kasus. Belum
lagi, akibat pemberitaan tersebut, pemerintah mengecam paktek jurnalisme yang
dilakukan Washington Post. Menteri Penerangan Amerika saat itu, Ronal Ziegler,
menganggap Washington Post telah menerbitkan pemberitaan yang keji terkait
Watergate.
Woodwart dan Berstein tetap di
garda depan, mereka masih di jalurnya meski tekanan politik menghujam
Washington Post. Berita demi berita makin menyulitkan beberapa pejabat Gedung
Putih untuk menutupi skandal Watergate. Nama-nama yang Woodwart dan Berstein
ungkap dalam tulisan mereka perlahan mulai terseret ke meja hijau.
Akhirnya, dalam gelar perkara
pengadilan, nama-nama yang diungkap Woodwart dan Bernstein dalam skandal kasus
Watergate dinyatakan bersalah. Dalam salah satu bukti, Richard Nixon terlibat.
Ia nyatanya menyetujui kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Pemerintahan
Nixon ambruk, kekuatannya melemah. Pada 9 Agustus 1974, Richard Nixon
menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden negara yang bergelar Adidaya.
Kekurangan film:
Film ini terlalu banyak tokohnya,
sehingga membuat bingung jalan ceritanya, dan tidak cukup jelas alur ceritanya.
Dengan banyak nya tokoh kita harus mengulang film ini beberapa kali agar dapat
mengertinya. Film ini juga membosankan dan tidak mudah untuk mengertinya.
Kelebihan film:
Film ini sangat menginspirasi
orang-orang yang mau menjadi wartawan. Selain itu film ini dapat membuat suatu
komunitas pers dapat semakin menebalkan kejurnalistikannya sebelum benar-benar
akan terjun di dunia media
Komentar
Dalam kasus lain di Indonesia, hal ini
juga dilakukan wartawan yang tengah meliput kasus besar dan melibatkan pejabat
tinggi. Dalam kasus skandal pajak terbesar di Indonesia misalnya, Metta
Dharmasaputra, wartawan Majalah TEMPO, memanfaatkan orang dalam Polri untuk
mendukung aksi peliputannya. Sehingga, skandal pajak yang dilakukan Asian Agri
Group dapat terbongkar
Hubungannya dengan 10 elemen jurnalisme
1.
Wawancara
Ada beberapa bagian yang menampilkan
kepiawaian dua wartawan ini dalam mengorek informasi dari narasumber. Proses
wawancara pada tingkat yang lebih sulit pun menghadang dua wartawan ini. Dalam
salah satu scene, Woodwart dimintai Deep Throat untuk menelusuri uang sejumlah
$25.000 yang mengalir dari Komite Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke
salah satu pelaku skandal Watergate. Lalu, penelusuran pun dimulai. Woodwart
dan Berstein mengalami masa yang amat melelahkan. Mereka mewawancara puluhan
orang yang bekerja di bagian keuangan pemerintahan untuk mengetahui aliran dana
sebesar $25.000 tersebut. Mereka melakukannya Door to door. Putus asa hampir
menghinggapi perasaan dua orang ini, tapi wawancara demi wawancara terus mereka
lakukan. Akhirnya, mereka menemukan orang yang bersedia mengungkap untuk apa
aliran dana tersebut. Ternyata dana itu digunakan untuk kegiatan spionase dalam
kasus Watergate. Bayangkan, untuk mengetahui sebuah aliran dana saja, mereka
berdua mesti mewancara puluhan orang bahkan sampai larut malam.
2.
Pengumpulan Data
Pada sebuah pemberitaan, hasil akan
lebih akurat jika data tertulis didapatkan. Namun, data tersebut lebih sulit
didapat ketimbang wawancara. Saya teringat kisah peliputan Karni Ilyas dalam
buku “40 Tahun Jadi Wartawan”. Dalam sebuah liputan perkara di pengadilan,
wartawan dengan suara khas mirip Doraemon itu belum puas jika hanya wawancara,
sampai-sampai surat tuduhan jaksa dan Berita Acara Perkara (BAP) mesti pula ia
dapatkan. Hal itu dilakukan untuk kelengkapan dan keakuratan isi berita.
Bagaimana dengan Woodwart dan
Berstein? Segera setelah wawancara tidak
menuai hasil, Woodwart dan Berstein mencari data tertulis. Sangat unik dan
profesional, tidak hanya orang yang terlibat, bahkan hubungan antara narasumber
primer dan sekunder juga dicari datanya.
Ada lagi hal istimewa yang
dilakukan salah seorang wartawan Washington Post ini. Jangan kira dengan
bersikap jujur dan polos akan gampang-gampang saja mendapat data tertulis,
terlebih jika data itu disimpan oleh pejabat tinggi pemerintah.
Hal demikian sah-sah saja. Dalam
buku “9 Elemen Jurnalisme” karangan Andreas Harsono, hal tersebut boleh jadi
dilakukan. Untuk memperoleh data atau bukti primer sebuah kasus, seorang
wartawan sah-sah saja berbohong bahkan menyamar. Jika tidak demikian, data
tidak akan didapat dan kasus tak akan terbongkar.
3.
Penulisan Berita dan Dinamika Ruang
Redaksi
Ada kaitannya antara film ini dengan
kiprah wartawan pemula, terlebih lagi ia adalah pegiat pers mahasiswa. Secara
pengalaman – menurut pimpinan The Washington Post – Bob Woodwart belumlah layak
untuk meliput kasus setingkat skandal Watergate. Setelah bersitegang, barulah
Woodwart diizinkan.
Ada salah satu bagian diawal film yang
menyinggung soal dinamika keredaksian. Woodwart mengumpulkan hasil liputannya.
Namun, tulisan Woodwart dikoreksi oleh Bernstein yang lebih senior berkiprah
sebagai jurnalis. Mereka berdua berdebat soal kualitas tulisan. Bernstein
menganggap tulisan Woodwart tentang Watergate tidak mempunyai titik fokus. Lead
yang ditulis Woordwart tidak menentukan arah tulisan dan kejelasan orang yang
terlibat.
Sebagai seorang wartawan, terlebih
pegiat pers mahasiswa, kredibilitas seorang wartawan dipertaruhkan dalam
tulisan. Maka koreksi dari teman sesama wartawan sangat penting sebelum
disiarkan ke khalayak. Masyarakat akan bisa menilai kualitas wartawan bahkan
juga media tempat ia bernaung. Jika saja tulisan yang dibuat kacau, bisa jadi
seorang wartawan akan berperkara di Dewan Pers dan citra media yang
bersangkutan akan memburuk. Namun, apabila sebuah tulisan dapat dipahami
maksud, arah, dan substansinya, reputasi wartawan dan media yang bersangkutan
juga meningkat. Maka, aturan mengenai penulisan teras berita, tubuh berita,
struktur kalimat, EYD,
4.
Klarifikasi dan Follow up Berita.
Jika seorang wartawan menulis berita
tanpa klarifikasi, berarti itu wartawan gila. Woodwart dan Bernstein tidak gila
tentunya. Tahapan setelah mendapat data yakni klarifikasi. Woodwart dan
Bernstein sangat ketat dalam klarifikasi. Mereka hampir tidak menerbitkan
beritanya karena sulit mendapatkan klarifikasi. Padahal tekanan deadline dan
redaktur begitu terasa. Sia-sia rasanya jika puluhan data bahkan ratusan data
telah dihimpun namun ketika hendak menulisnya tidak mendapatkan klarifikasi.
Mending tidak usah jadi menulisnya daripada dikutuk massa karena menulis berita
yang berat sebelah. Berita yang kita tulis akan menjadi sumber fitnah dan sudah
terjerat pelanggaran pidanan. Maka berhati-hatilah!
Bernstein dan Woodwart juga serius
dengan perkembangan infomasi terkait Watergate. Berita yang baik tentunya tak
mencakup kulit luar, tapi mendalam dan terus diikuti perkembangannya, inilah
follow up. Jika tidak demikian, tak mungkin dua wartawan ini dianugrahi penghargaan
Putlizer. Betapa tidak, berita yang ditulis dua wartawan ini mengungkap pelaku
kriminal yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah, sampai tuntas, berakhir di
pengadilan, dan Nixon menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar