Kamis, 12 Maret 2020

RESENSI FILM ALL THE PRESIDENT'S MEN







Judul :ALL THE PRESIDENT’S MEN
Sutradara : Alan J. Pakula

Pemeran :
­-Robert Redford
-Dustin Hoffman
-Jason Robards

Rilis : 1976
Genre : Drama, history, mystery
Durasi : 138 Menit
film ini diangkat  dari adaptasi novel yang ditulis sendiri oleh Bob Woodward dan Carl Bernstein selaku pelaku sejarah

RESENSI FILM
Film ini bermula dari kasus spionase, pencurian, dan penyadapan di salah satu markas milik Partai Nasional Demokrat, Watergate. Kemudian dua orang jurnalis The Washington Post mencoba untuk menguak kasus yang mereka anggap penuh konspirasi. Dua jurnalis tersebut yakni Bob Woodwart dan Carl Bernstein.
Kejanggalan kasus Watergate berawal dari persidangan lima orang terdakwa. Woodwart, yang kala itu hadir dalam persidangan mendengar bahwa salah satu terdakwa yang bernama James Mc. Cord adalah pensiunan konsultan keamanan CIA.
Kasus kian ditelusuri. Data yang dikumpulkan Woodwart menunjukan ada keterlibatan pemerintahan Richard Nixon, termasuk Penasehat Khusus Presiden dan beberapa pejabat penting lainnya. Setelah data dihimpun, ada dinamika dalam ruang redaksi nyatanya. Woodwart barulah Sembilan bulan menjadi jurnalis di surat kabar kenamaan Amerika tersebut. Hal itu membuat petinggi The Washington Post tak main gampang memberikan tugas itu kepada Woodwart. Pengalamannya masih dianggap dangkal. Setelah beberapa pimpinan bersitegang, barulah Woodwart diamanahkan untuk menelusuri kasus tersebut. Tak tak cukup satu, redaktur Washington Post juga menunjuk Carl Bernstein dalam peliputan skandal Watergate.
Lalu, apa hubungannya kasus Watergate dengan pemerintahan Richard Nixon yang merupakan presiden Amerika kala itu?  Woodwart mensinyalir, adanya campur tangan Gedung Putih dalam menyiasati pencurian dan juga penyadapan di markas Partai Nasional Demokrat. Lantas saja petinggi gedung putih tersandung kasus. Selidik punya selidik, orang-orang Nixon mencoba menyabotase kampanye politik pesaingnya dari Partai Nasional Demokrat. Saat itu adalah tahun politik Amerika, Nixon kembali menjadi kandidat calon presiden dan akhirnya menang.
Orang-orang diwawancara, data tertulis pun kian dihimpun, saatnya Woodwart dan Bernstein menunjukkan hasil liputannya. Mereka berdua amat yakin dengan hasilnya, juga menduga berita ini akan sangat eksklusif. Bahkan mereka kira, surat kabar nomer wahid Amerika yakni The New York Times tak memiliki informasi khusus terkait skadal Watergate. Namun, apalah yang mereka terima? Pimpinan Washington Post mengira tak ada yang istimewa dalam hasil peliputan. Data-data yang dihimpun rupanya masih dangkal. Isinya kering dan hanya menyangkut kulit luar dari kasus itu. Berita tentang Watergate belum jadi diterbitkan. Woodwart kecewa, pun dengan Bernstein. Walhasil, mereka mesti putar otak lebih keras.
Tidak jadi terbit, Woodwart dan Bernstein tak hentikan langkah. Tibalah saatnya Woodwart memanfaatkan jaringan yang ia miliki. Tentu untuk mengorek banyak informasi. Ia menghubungi kenalannya di Gedung Putih. Pertemuan rahasia dengan orang dalam pemerintahan ia agendakan. Orang ini akan jadi informan dalam kasus yang Woodwart dan Berstein telusuri.
Tibalah saat pertemuan rahasia, orang misterius itu dinamai Deep Throat. Woodwart menginginkan Deep Throat mengungkap semua yang diketahuinya tentang skandal Watergate. Namun Deep Throat tidak secara gamblang membeberkan semua hal, hanya kata kuncinya saja. Woodwart nampak bingung. Mesti darimana ia memulai? Akhirnya Deep Throat ingin agar Woodwart dan Berstein menelusuri uang berjumlah $25.000 yang ada di rekening salah satu tersangka pencurian. Kenapa harus uang itu? Karena dana tersebut mengalir dari Komite Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke rekening pelaku pencurian Watergate.
Pemberitaan tentang skandal Watergate tersiarkan. Gedung Putih gempar. Aksi dari dua wartawan ini menyeret beberapa nama penting di pemerintahan. Mulailah terkuak konspirasi pejabat tinggi Gedung Putih dalam kasus Watergate. Dalam proses peliputan, Woodwart dan Bernstein jadi sosok berbahaya. Hal demikian membuat agen khusus negara tak tinggal diam. Mereka berdua kerap dibuntuti mata-mata, gerak-gerik mereka diawasi. Bahkan, komunikasi yang dilakukan dua wartawan ini bisa jadi disadap. Deep Throat lah yang memberitahukan hal itu kepada Woodwart dan Berstein.
Usaha dua wartawan ini bukan tidak menghadapi batu sandungan. Banyak orang yang enggan mengungkap kebenaran saat diwawancara. Agen khusus negara mencoba menekan beberapa orang yang terlibat supaya mengunci rapat mulutnya. Woodwart dan Berstein mesti susah payah mencari narasumber yang sukarela menjadi kunci terkuaknya kasus. Belum lagi, akibat pemberitaan tersebut, pemerintah mengecam paktek jurnalisme yang dilakukan Washington Post. Menteri Penerangan Amerika saat itu, Ronal Ziegler, menganggap Washington Post telah menerbitkan pemberitaan yang keji terkait Watergate.
Woodwart dan Berstein tetap di garda depan, mereka masih di jalurnya meski tekanan politik menghujam Washington Post. Berita demi berita makin menyulitkan beberapa pejabat Gedung Putih untuk menutupi skandal Watergate. Nama-nama yang Woodwart dan Berstein ungkap dalam tulisan mereka perlahan mulai terseret ke meja hijau.
Akhirnya, dalam gelar perkara pengadilan, nama-nama yang diungkap Woodwart dan Bernstein dalam skandal kasus Watergate dinyatakan bersalah. Dalam salah satu bukti, Richard Nixon terlibat. Ia nyatanya menyetujui kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Pemerintahan Nixon ambruk, kekuatannya melemah. Pada 9 Agustus 1974, Richard Nixon menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden negara yang bergelar Adidaya.

Kekurangan film:
Film ini terlalu banyak tokohnya, sehingga membuat bingung jalan ceritanya, dan tidak cukup jelas alur ceritanya. Dengan banyak nya tokoh kita harus mengulang film ini beberapa kali agar dapat mengertinya. Film ini juga membosankan dan tidak mudah untuk mengertinya.
Kelebihan film:
Film ini sangat menginspirasi orang-orang yang mau menjadi wartawan. Selain itu film ini dapat membuat suatu komunitas pers dapat semakin menebalkan kejurnalistikannya sebelum benar-benar akan terjun di dunia media
Komentar
Dalam kasus lain di Indonesia, hal ini juga dilakukan wartawan yang tengah meliput kasus besar dan melibatkan pejabat tinggi. Dalam kasus skandal pajak terbesar di Indonesia misalnya, Metta Dharmasaputra, wartawan Majalah TEMPO, memanfaatkan orang dalam Polri untuk mendukung aksi peliputannya. Sehingga, skandal pajak yang dilakukan Asian Agri Group dapat terbongkar

Hubungannya dengan 10 elemen jurnalisme
1.        Wawancara
Ada beberapa bagian yang menampilkan kepiawaian dua wartawan ini dalam mengorek informasi dari narasumber. Proses wawancara pada tingkat yang lebih sulit pun menghadang dua wartawan ini. Dalam salah satu scene, Woodwart dimintai Deep Throat untuk menelusuri uang sejumlah $25.000 yang mengalir dari Komite Pemenangan Kembali Presiden Richard Nixon ke salah satu pelaku skandal Watergate. Lalu, penelusuran pun dimulai. Woodwart dan Berstein mengalami masa yang amat melelahkan. Mereka mewawancara puluhan orang yang bekerja di bagian keuangan pemerintahan untuk mengetahui aliran dana sebesar $25.000 tersebut. Mereka melakukannya Door to door. Putus asa hampir menghinggapi perasaan dua orang ini, tapi wawancara demi wawancara terus mereka lakukan. Akhirnya, mereka menemukan orang yang bersedia mengungkap untuk apa aliran dana tersebut. Ternyata dana itu digunakan untuk kegiatan spionase dalam kasus Watergate. Bayangkan, untuk mengetahui sebuah aliran dana saja, mereka berdua mesti mewancara puluhan orang bahkan sampai larut malam.
2.      Pengumpulan Data
            Pada sebuah pemberitaan, hasil akan lebih akurat jika data tertulis didapatkan. Namun, data tersebut lebih sulit didapat ketimbang wawancara. Saya teringat kisah peliputan Karni Ilyas dalam buku “40 Tahun Jadi Wartawan”. Dalam sebuah liputan perkara di pengadilan, wartawan dengan suara khas mirip Doraemon itu belum puas jika hanya wawancara, sampai-sampai surat tuduhan jaksa dan Berita Acara Perkara (BAP) mesti pula ia dapatkan. Hal itu dilakukan untuk kelengkapan dan keakuratan isi berita.
            Bagaimana dengan Woodwart dan Berstein? Segera setelah  wawancara tidak menuai hasil, Woodwart dan Berstein mencari data tertulis. Sangat unik dan profesional, tidak hanya orang yang terlibat, bahkan hubungan antara narasumber primer dan sekunder juga dicari datanya.
            Ada lagi hal istimewa yang dilakukan salah seorang wartawan Washington Post ini. Jangan kira dengan bersikap jujur dan polos akan gampang-gampang saja mendapat data tertulis, terlebih jika data itu disimpan oleh pejabat tinggi pemerintah.
            Hal demikian sah-sah saja. Dalam buku “9 Elemen Jurnalisme” karangan Andreas Harsono, hal tersebut boleh jadi dilakukan. Untuk memperoleh data atau bukti primer sebuah kasus, seorang wartawan sah-sah saja berbohong bahkan menyamar. Jika tidak demikian, data tidak akan didapat dan kasus tak akan terbongkar.

3.      Penulisan Berita dan Dinamika Ruang Redaksi
Ada kaitannya antara film ini dengan kiprah wartawan pemula, terlebih lagi ia adalah pegiat pers mahasiswa. Secara pengalaman – menurut pimpinan The Washington Post – Bob Woodwart belumlah layak untuk meliput kasus setingkat skandal Watergate. Setelah bersitegang, barulah Woodwart diizinkan.
Ada salah satu bagian diawal film yang menyinggung soal dinamika keredaksian. Woodwart mengumpulkan hasil liputannya. Namun, tulisan Woodwart dikoreksi oleh Bernstein yang lebih senior berkiprah sebagai jurnalis. Mereka berdua berdebat soal kualitas tulisan. Bernstein menganggap tulisan Woodwart tentang Watergate tidak mempunyai titik fokus. Lead yang ditulis Woordwart tidak menentukan arah tulisan dan kejelasan orang yang terlibat.
Sebagai seorang wartawan, terlebih pegiat pers mahasiswa, kredibilitas seorang wartawan dipertaruhkan dalam tulisan. Maka koreksi dari teman sesama wartawan sangat penting sebelum disiarkan ke khalayak. Masyarakat akan bisa menilai kualitas wartawan bahkan juga media tempat ia bernaung. Jika saja tulisan yang dibuat kacau, bisa jadi seorang wartawan akan berperkara di Dewan Pers dan citra media yang bersangkutan akan memburuk. Namun, apabila sebuah tulisan dapat dipahami maksud, arah, dan substansinya, reputasi wartawan dan media yang bersangkutan juga meningkat. Maka, aturan mengenai penulisan teras berita, tubuh berita, struktur kalimat, EYD,

4.      Klarifikasi dan Follow up Berita.
Jika seorang wartawan menulis berita tanpa klarifikasi, berarti itu wartawan gila. Woodwart dan Bernstein tidak gila tentunya. Tahapan setelah mendapat data yakni klarifikasi. Woodwart dan Bernstein sangat ketat dalam klarifikasi. Mereka hampir tidak menerbitkan beritanya karena sulit mendapatkan klarifikasi. Padahal tekanan deadline dan redaktur begitu terasa. Sia-sia rasanya jika puluhan data bahkan ratusan data telah dihimpun namun ketika hendak menulisnya tidak mendapatkan klarifikasi. Mending tidak usah jadi menulisnya daripada dikutuk massa karena menulis berita yang berat sebelah. Berita yang kita tulis akan menjadi sumber fitnah dan sudah terjerat pelanggaran pidanan. Maka berhati-hatilah!
            Bernstein dan Woodwart juga serius dengan perkembangan infomasi terkait Watergate. Berita yang baik tentunya tak mencakup kulit luar, tapi mendalam dan terus diikuti perkembangannya, inilah follow up. Jika tidak demikian, tak mungkin dua wartawan ini dianugrahi penghargaan Putlizer. Betapa tidak, berita yang ditulis dua wartawan ini mengungkap pelaku kriminal yang melibatkan pejabat tinggi pemerintah, sampai tuntas, berakhir di pengadilan, dan Nixon menyerah.